BISMILLAAHI ALHAMDULILLAAH AR-RAHMAAN AR-RAHIIM
Manusia cenderung ingin diberi daripada harus memberi, meski banyak keterangan yang menyatakan bahwa memberi lebih baik daripada menerima, kalaupun memberi pasti meminta sesuatu untuk balasan dari apa yang telah diberikan, sebuah contoh jika seseorang memberi uang atau makanan kepada yang membutuhkan tetapi kadang ada yang meminta di do’akan oleh orang yang diberi misal supaya usahanya lebih lancar, padahal tanpa diminta pun orang yang diberikan bantuan dengan ikhlas akan mendo’akan si pemberi, bahkan justru mungkin si penerima itu lebih ikhlas lagi mendo’akan orang yang memberinya karena si pemberi itu pun dengan ikhlas memberikan bantuannya karena hanya mengharap Ridha Allaah Ta’ala, dan dalam suatu hadits Nabi shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda: Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) dari tempat yang jauh (tanpa diketahuinya) akan dikabulkan. (riwayat Muslim),, jika kita simak dengan baik hadits barusan maka sudah bisa dipastikan rasanya kurang afdhol bila saja kita ada di posisi si pemberi meminta di do’akan oleh si penerima karena jika kita ingin segera dikabulkan tidak perlu meminta langsung kepada si penerima, bahkan mungkin pada saat kita memberi hati kita kurang ikhlas karena biasanya orang meminta supaya dilancarkan usahanya, mungkin lupa meminta di do’akan semoga Allaah menetapkan hatiku pada jalan yang diridhaiNYA, dan do’a ini sungguh lebih baik daripada do’a yang hanya meminta kelancaran urusan duniawi saja,, ada sebuah hadits panjang yang menceritakan tentang sifat ikhlas yang diriwatkan oleh sahabat Mu’adz, bahwa Rasul shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Puji syukur ke hadrat Allaah Subhanahu wa Ta’ala yang menghendaki agar makhlukNYA menurut kehendakNYA, wahai Muadz! ”Jawabku, “Ya, Sayidil Mursalin.” Sabda Rasulullooh shalallaahu ‘alaihi wasalam, “Sekarang aku akan menceritakan sesuatu kepadamu yang apabila engkau hafalkan (diambil perhatian) olehmu akan berguna tetapi kalau engkau lupakan (tidak dipedulikan) olehmumaka kamu tidak akan mempunyai alasan di hadapan Allaah kelak.”
“Hai Muadz, Allaah itu menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan langit dari bumi. Setiap langit ada satu malaikat yang menjaga pintu langit dan tiap-tiap pintu langit dijaga oleh malaikat penjaga pintu menurut ukuran pintu dan keagungannya.”
“Maka malaikat yang memelihara amalan si hamba (malaikat hafazah) akan naik ke langit membawa amal itu ke langit pertama. Penjaga langit pertama akan berkata kepada malaikat Hafazah,”Saya penjaga tukang mengumpat. Lemparkan kembali amalan itu ke muka pemiliknya karena saya diperintahkan untuk tidak menerima amalan tukang mengumpat”.
“Esoknya, naik lagi malaikat Hafazah membawa amalan si hamba. Di langit kedua penjaga pintunya berkata,”Lemparkan kembali amalan itu ke muka pemiliknya sebab dia beramal karena mengharapkan keduniaan. Allaah memerintahkan supaya amalan itu ditahan jangan sampai lepas ke langit yang lain.”
“Kemudian naik lagi malaikat Hafazah ke langit ketiga membawa amalan yang sungguh indah. Penjaga langit ketiga berkata, “Lemparkan kembali amalan itu ke muka pemiliknya karena dia seorang yang sombong.”
Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasalam meneruskan sabdanya, “Berikutnya malaikat Hafazah membawa lagi amalan si hamba ke langit keempat. Lalu penjaga langit itu berkata,”Lemparkan kembali amalan itu ke muka pemiliknya. Dia seorang yang ujub. Allaah memerintahkan aku menahan amalan si ujub.”
Seterusnya amalan si hamba yang lulus ke langit kelima dalam keadaan bercahaya-cahaya dengan jihad, haji, umrah dan lain-lain. Tetapi di pintu langit penjaganya berkata,”Itu adalah amalan tukang
hasad. Dia sangat benci pada nikmat yang Allaah berikan pada hambaNYA. Dia tidak ridha dengan kehendak Allaah. Sebab itu Allaah perintahkan amalannya dilemparkan kembali ke mukanya. Allaah tidak terima amalan pendengki dan hasad.”
Di langit keenam, penjaga pintu akan berkata,”Saya penjaga rahmat. Saya diperintahkan untuk melemparkan kembali amalan yang indah itu ke muka pemiliknya karena dia tidak pernah mengasihi orang lain. Kalau orang dapat musibah dia merasa senang. Sebab itu amalan itu jangan melintasi langit ini.”
Malaikat Hafazah naik lagi membawa amalan si hamba yang dapat lepas hingga ke langit ketujuh. Cahayanya bagaikan kilat, suaranya bergemuruh. Di antara amalan itu ialah shalat, puasa, sedekah,
jihad, warak dan lain-lain.
Tetapi penjaga pintu langit berkata,”Saya ini penjaga sum’ah (ingin kemasyhuran). Sesungguhnya si hamba ini ingin termasyhur dalam kelompoknya dan selalu ingin tinggi di saat berkumpul dengan kawan- kawan yang sebaya dan ingin mendapat pengaruh dari para pemimpin. Allaah memerintahkan padaku agar amalan itu jangan melintasiku. Tiap-tiap amalan yang tidak bersih karena Allaah maka itulah riya’. Allaah tidak akan menerima dan mengabulkan orang-orang yang riya’.”
Kemudian malaikat Hafazah itu naik lagi dengan membawa amal hambayakni shalat, puasa, zakat, haji, umrah, akhlak yang baik dan mulia serta zikir pada Allaah. Amalan itu diiringi malaikat ke langit ketujuh hingga melintasi hijab-hijab dan sampailah ke hadirat Allaah Subhanahu wa Ta’ala.
Semua malaikat berdiri di hadapan Allaah dan semua menyaksikan amalan itu sebagai amalan soleh yang betul-betul ikhlas untuk Allaah. Tetapi firman Tuhan,”Hafazah sekalian, pencatat amal hamba-Ku, Aku adalah pemilik hatinya dan Aku lebih mengetahui apa yang dimaksudkan oleh hamba-Ku ini dengan amalannya. Dia tidak ikhlas pada-Ku dengan amalannya. Dia menipu orang lain, menipu kamu
(malaikat Hafazah) tetapi tidak bisa menipu Aku. Aku adalah Maha Mengetahui.”
“Aku melihat segala isi hati dan tidak akan terlindung bagiKU apa saja yang terlindung. Pengetahuan-Ku atas apa yang telah terjadi adalah sama dengan pengetahuan-Ku atas apa yang bakal terjadi.” “PengetahuanKU atas orang yang terdahulu adalah sama dengan PengetahuanKU atas orang-orang yang datang kemudian. Kalau begitu bagaimana hamba-Ku ini menipu Aku dengan amalannya ini?”
“Laknat-Ku tetap padanya.”
Dan ketujuh-tujuh malaikat beserta 3000 malaikat yang mengiringinya pun berkata:
“Ya Tuhan, dengan demikian tetaplah laknatMU dan laknat kami sekalian bagi mereka.”
Dan semua yang di langit turut berkata,”Tetaplah laknat Allaah kepadanya dan laknat orang yang melaknat.”
Sayidina Muadz (yang meriwayatkan hadist ini) kemudian menangis terisak-isak dan berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana aku dapat selamat dari apa yang diceritakan ini?”
Sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasalam, “Hai Muadz, ikutilah Nabimu dalam soal keyakinan.”
Muadz bertanya kembali,”Ya, tuan ini Rasulullah sedangkan saya ini hanyalah si Muadz bin Jabal, bagaimana saya dapat selamat dan bisa lepas dari bahaya tersebut?”
Bersabda Rasulullah, “Ya begitulah, kalau dalam amalanmu ada kelalaian maka tahanlah lidahmu jangan sampai memburukkan orang lain. Ingatlah dirimu sendiri pun penuh dengan aib maka janganlah mengangkat diri dan menekan orang lain.”
“Jangan riya’ dengan amal supaya amal itu diketahui orang. Jangan termasuk orang yang mementingkan dunia dengan melupakan akhirat. Kamu jangan berbisik berdua ketika disebelahmu ada orang lain yang tidak diajak berbisik. Jangan takabur pada orang lain nanti luput
amalanmu dunia dan akhirat dan jangan berkata kasar dalam suatu majlis dengan maksud supaya orang takut padamu, jangan mengungkit-ungkit apabila membuat kebaikan, jangan mengoyak perasaan orang lain dengan mulutmu, karena kelak engkau akan dikoyak-koyak oleh
anjing-anjing neraka jahanam.”
Sebagaimana firman Allaah yang bermaksud,”Di neraka itu ada anjing-anjing yang mengoyak badan manusia.”
Muadz berkata, “Ya Rasulullah, siapa yang tahan menanggung penderitaan semacam itu?”
Jawab Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasalam, “Muadz, yang kami ceritakan itu akan mudah bagi mereka yang dimudahkan oleh Allaah Subhanahu Wa Ta’ala. Cukuplah untuk menghindari semua itu, kamu menyayangi orang lain sebagaimana kamu mengasihi dirimu sendiri dan benci bila sesuatu yang dibenci olehmu terjadi pada orang lain. Kalau begitu kamu akan selamat dan dirimu
pasti akan terhindar dari api neraka.”
Jika seorang sahabat Rasul seperti Muadz bin Jabal menangis terisak-isak karena takut tidak selamat dari apa yang telah diceritakan oleh Rasul tadi, padahal ia adalah seorang yang pintar dan berdedikasi tinggi, yang ia senantiasa bersama Rasul sampai ia memahami Al-Qur’an dan hal itu membuatnya di kemudian hari menjadi sahabat yang paling ahli membaca Al-Qur’an, orang yang paling baik membaca Al-Qur’an serta orang yang paling memahami syari’at-syari’at Allaah dan Rasulullooh memujinya dengan bersabda “Yang kumaksud umatku yang paling alim tentang halal dan haram ialah Muadz bin Jabal.” (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah),, bahkan Rasul bersabda kepada Mu’adz bahwa beliau sungguh mencintainya pada saat Nabi mengirimnya ke Yaman untuk mengajar, memberikan pengetahuan agama dan mendidik sampai hafal Qur’an,, jika seorang Mu’adz menangis seperti yang diceritakan tadi seharusnya kita yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa haruslah menangis lebih terisak-isak daripada seorang Mu’adz, karena kita tidak memahami dan membaca Qur’an seperti Mu’adz bahkan kita begitu jauh memiliki pengetahuan tentang syari’at-syari’at Allaah dan halal haram dibanding seorang Mu’adz, karena sudah tentu kita lebih banyak dosa daripada Mu’adz, kita lebih banyak melakukan amal-amal yang tidak sempurna malah mungkin jatuh ke dalam riya’ dan sudah selayaknya kita harus harus lebih merasa tidak akan selamat jika kita tidak ikhlas dalam melakukan suatu perbuatan karena bukan keridhaan Tuhan Yang Maha Rohman yang kita dapat tapi malah laknat dari Tuhan dan seluruh makhluk yang bisa melaknat yang akan kita dapat,,
Dalam hadits panjang tadi Rasulullooh berpesan supaya tidak riya’ dalam beramal agar diketahui oleh orang lain, agar kita jangan termasuk kepada orang yang mementingkan dunia dan melupakan akhirat, dan jika melakukan suatu kelalaian dalam beramal maka hendaklah menahan lidah supaya jangan sampai memburukkan orang lain, hendaklah mengingat diri sendiri yang penuh dengan aib, dan jangan mengangkat diri dan menekan orang lain,, tapi pada kenyataan sekarang justru malah berbanding terbalk dengan apa yang dilarang oleh Rasul ‘alaihi shalatu wasalam, dimana orang-orang malah diliput oleh media masa ketika sedang beramal, dimana ketika memberi sesuatu malah minta di do’akan supaya usahanya lancar, dimana jika melakukan kelalaian dalam beramal bukannya sadar akan diri yang penuh dengan aib, malah mencari-cari kesalahan orang lain agar dirinya terlihat lebih baik dan menekan orang lain supaya kejelekannya dapat ditimpakan kepada yang lain,, begitu sulitnya memberi sesuatu tanpa mengharapkan balasan dari orang yang diberikan bantuan, baik itu uang ataupun makanan, karena mungkin sifat ikhlas belum tertanam dalam hati yang terdalam, karena mungkin hati terlalu kelam sehingga tak dapat ditembus oleh cahaya Ilahi yang membawa kebaikan dan kebenaran, karena mungkin hati banyak noda hitam yang disebabkan oleh dosa-dosa yang dianggap biasa yang sering kita lakukan, karena mungkin perhiasan dunia terlalu menyilaukan pandangan yang tak mengenal siapa Tuhan, dan mungkin saja termasuk ke dalam orang-orang yang mendustakan agama yang telah diajarkan sebagaimana disebutkan dalam Qur’an: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna (Al-Maa’uun ayat 1-7),, begitu sering surat Al-Maa’uun ini dibacakan oleh imam ketika shalat, dan tentunya kita juga serng mendengar dan membaca surat ini ketika kita melaksanakan shalat sunat di rumah, namun kenyataannya membaca dan mengatakan lebih mudah daripada mengamalkan dalam bentuk perbuatan, dan hal itu terjadi karena mungkin kita belum benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari pembalasan sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasul sebagai utusan, karena mungkin Islam yang kita kenal hanyalah Islam turunan bukan Islam dari hasil pemahaman,, pemberian yang mengharapkan balasan mungkin disebabkan karena shalat yang dilakukan belum baik karena dalam ayat tadi disebutkan juga orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan dari shalat ini ternyata banyak hikmah kebaikan yang terlupakan dan tidak dipelajari oleh orang-orang, karena Rasul bersabda perihal tentang shalat: Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.” (Riwayat Ath-Thabarani),, subhanAllaah begitu benarnya apa yang disabdakan oleh beliau karena semua amal seseorang bergantung kepada baik atau tidaknya orang tersebut dalam melakukan shalatnya,, hubungan antara sifat memberi dan shalat yakni shalat adalah kebutuhan seorang insan bukan lagi hanya kewajiban, bahkan kebutuhan manusia terhadap shalat lebih dibutuhkan daripada kebutuhan makanan seseorang, karena dalam diri kita ada tiga hak yang harus dilakukan, yakni hak Allaah terhadap kita selaku Sang Pencipta, hak diri kita sendiri dan hak orang lain, dan shalat sendiri merupakan gabungan antara hak Allaah dan hak kita, namun sungguh tak sedikit orang yang melalaikan shalatnya, baik itu dalam ketepatan waktunya maupun kelalaian dalam rukun shalatnya, dan dari sini bisa disimpulkan jika pemberian hak kepada Allaah dan dirinya sendiri begitu dilalaikan sudah pasti memberi kepada orang lain pun akan meminta balasan, padahal Allaah akan membalas perbuatan baik kita tanpa diminta, disebutkan dalam Qur’an: “Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allaah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).” (Al-Anfal ayat 60),, dan bahwasanya harta dan anak hanyalah cobaan seperti tertulis dalam Al-Qur’an: Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allaah-lah pahala yang besar. (Al-Anfaal ayat 28)
Manusia cenderung ingin diberi daripada harus memberi, meski banyak keterangan yang menyatakan bahwa memberi lebih baik daripada menerima, kalaupun memberi pasti meminta sesuatu untuk balasan dari apa yang telah diberikan, sebuah contoh jika seseorang memberi uang atau makanan kepada yang membutuhkan tetapi kadang ada yang meminta di do’akan oleh orang yang diberi misal supaya usahanya lebih lancar, padahal tanpa diminta pun orang yang diberikan bantuan dengan ikhlas akan mendo’akan si pemberi, bahkan justru mungkin si penerima itu lebih ikhlas lagi mendo’akan orang yang memberinya karena si pemberi itu pun dengan ikhlas memberikan bantuannya karena hanya mengharap Ridha Allaah Ta’ala, dan dalam suatu hadits Nabi shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda: Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) dari tempat yang jauh (tanpa diketahuinya) akan dikabulkan. (riwayat Muslim),, jika kita simak dengan baik hadits barusan maka sudah bisa dipastikan rasanya kurang afdhol bila saja kita ada di posisi si pemberi meminta di do’akan oleh si penerima karena jika kita ingin segera dikabulkan tidak perlu meminta langsung kepada si penerima, bahkan mungkin pada saat kita memberi hati kita kurang ikhlas karena biasanya orang meminta supaya dilancarkan usahanya, mungkin lupa meminta di do’akan semoga Allaah menetapkan hatiku pada jalan yang diridhaiNYA, dan do’a ini sungguh lebih baik daripada do’a yang hanya meminta kelancaran urusan duniawi saja,, ada sebuah hadits panjang yang menceritakan tentang sifat ikhlas yang diriwatkan oleh sahabat Mu’adz, bahwa Rasul shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Puji syukur ke hadrat Allaah Subhanahu wa Ta’ala yang menghendaki agar makhlukNYA menurut kehendakNYA, wahai Muadz! ”Jawabku, “Ya, Sayidil Mursalin.” Sabda Rasulullooh shalallaahu ‘alaihi wasalam, “Sekarang aku akan menceritakan sesuatu kepadamu yang apabila engkau hafalkan (diambil perhatian) olehmu akan berguna tetapi kalau engkau lupakan (tidak dipedulikan) olehmumaka kamu tidak akan mempunyai alasan di hadapan Allaah kelak.”
“Hai Muadz, Allaah itu menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan langit dari bumi. Setiap langit ada satu malaikat yang menjaga pintu langit dan tiap-tiap pintu langit dijaga oleh malaikat penjaga pintu menurut ukuran pintu dan keagungannya.”
“Maka malaikat yang memelihara amalan si hamba (malaikat hafazah) akan naik ke langit membawa amal itu ke langit pertama. Penjaga langit pertama akan berkata kepada malaikat Hafazah,”Saya penjaga tukang mengumpat. Lemparkan kembali amalan itu ke muka pemiliknya karena saya diperintahkan untuk tidak menerima amalan tukang mengumpat”.
“Esoknya, naik lagi malaikat Hafazah membawa amalan si hamba. Di langit kedua penjaga pintunya berkata,”Lemparkan kembali amalan itu ke muka pemiliknya sebab dia beramal karena mengharapkan keduniaan. Allaah memerintahkan supaya amalan itu ditahan jangan sampai lepas ke langit yang lain.”
“Kemudian naik lagi malaikat Hafazah ke langit ketiga membawa amalan yang sungguh indah. Penjaga langit ketiga berkata, “Lemparkan kembali amalan itu ke muka pemiliknya karena dia seorang yang sombong.”
Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasalam meneruskan sabdanya, “Berikutnya malaikat Hafazah membawa lagi amalan si hamba ke langit keempat. Lalu penjaga langit itu berkata,”Lemparkan kembali amalan itu ke muka pemiliknya. Dia seorang yang ujub. Allaah memerintahkan aku menahan amalan si ujub.”
Seterusnya amalan si hamba yang lulus ke langit kelima dalam keadaan bercahaya-cahaya dengan jihad, haji, umrah dan lain-lain. Tetapi di pintu langit penjaganya berkata,”Itu adalah amalan tukang
hasad. Dia sangat benci pada nikmat yang Allaah berikan pada hambaNYA. Dia tidak ridha dengan kehendak Allaah. Sebab itu Allaah perintahkan amalannya dilemparkan kembali ke mukanya. Allaah tidak terima amalan pendengki dan hasad.”
Di langit keenam, penjaga pintu akan berkata,”Saya penjaga rahmat. Saya diperintahkan untuk melemparkan kembali amalan yang indah itu ke muka pemiliknya karena dia tidak pernah mengasihi orang lain. Kalau orang dapat musibah dia merasa senang. Sebab itu amalan itu jangan melintasi langit ini.”
Malaikat Hafazah naik lagi membawa amalan si hamba yang dapat lepas hingga ke langit ketujuh. Cahayanya bagaikan kilat, suaranya bergemuruh. Di antara amalan itu ialah shalat, puasa, sedekah,
jihad, warak dan lain-lain.
Tetapi penjaga pintu langit berkata,”Saya ini penjaga sum’ah (ingin kemasyhuran). Sesungguhnya si hamba ini ingin termasyhur dalam kelompoknya dan selalu ingin tinggi di saat berkumpul dengan kawan- kawan yang sebaya dan ingin mendapat pengaruh dari para pemimpin. Allaah memerintahkan padaku agar amalan itu jangan melintasiku. Tiap-tiap amalan yang tidak bersih karena Allaah maka itulah riya’. Allaah tidak akan menerima dan mengabulkan orang-orang yang riya’.”
Kemudian malaikat Hafazah itu naik lagi dengan membawa amal hambayakni shalat, puasa, zakat, haji, umrah, akhlak yang baik dan mulia serta zikir pada Allaah. Amalan itu diiringi malaikat ke langit ketujuh hingga melintasi hijab-hijab dan sampailah ke hadirat Allaah Subhanahu wa Ta’ala.
Semua malaikat berdiri di hadapan Allaah dan semua menyaksikan amalan itu sebagai amalan soleh yang betul-betul ikhlas untuk Allaah. Tetapi firman Tuhan,”Hafazah sekalian, pencatat amal hamba-Ku, Aku adalah pemilik hatinya dan Aku lebih mengetahui apa yang dimaksudkan oleh hamba-Ku ini dengan amalannya. Dia tidak ikhlas pada-Ku dengan amalannya. Dia menipu orang lain, menipu kamu
(malaikat Hafazah) tetapi tidak bisa menipu Aku. Aku adalah Maha Mengetahui.”
“Aku melihat segala isi hati dan tidak akan terlindung bagiKU apa saja yang terlindung. Pengetahuan-Ku atas apa yang telah terjadi adalah sama dengan pengetahuan-Ku atas apa yang bakal terjadi.” “PengetahuanKU atas orang yang terdahulu adalah sama dengan PengetahuanKU atas orang-orang yang datang kemudian. Kalau begitu bagaimana hamba-Ku ini menipu Aku dengan amalannya ini?”
“Laknat-Ku tetap padanya.”
Dan ketujuh-tujuh malaikat beserta 3000 malaikat yang mengiringinya pun berkata:
“Ya Tuhan, dengan demikian tetaplah laknatMU dan laknat kami sekalian bagi mereka.”
Dan semua yang di langit turut berkata,”Tetaplah laknat Allaah kepadanya dan laknat orang yang melaknat.”
Sayidina Muadz (yang meriwayatkan hadist ini) kemudian menangis terisak-isak dan berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana aku dapat selamat dari apa yang diceritakan ini?”
Sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasalam, “Hai Muadz, ikutilah Nabimu dalam soal keyakinan.”
Muadz bertanya kembali,”Ya, tuan ini Rasulullah sedangkan saya ini hanyalah si Muadz bin Jabal, bagaimana saya dapat selamat dan bisa lepas dari bahaya tersebut?”
Bersabda Rasulullah, “Ya begitulah, kalau dalam amalanmu ada kelalaian maka tahanlah lidahmu jangan sampai memburukkan orang lain. Ingatlah dirimu sendiri pun penuh dengan aib maka janganlah mengangkat diri dan menekan orang lain.”
“Jangan riya’ dengan amal supaya amal itu diketahui orang. Jangan termasuk orang yang mementingkan dunia dengan melupakan akhirat. Kamu jangan berbisik berdua ketika disebelahmu ada orang lain yang tidak diajak berbisik. Jangan takabur pada orang lain nanti luput
amalanmu dunia dan akhirat dan jangan berkata kasar dalam suatu majlis dengan maksud supaya orang takut padamu, jangan mengungkit-ungkit apabila membuat kebaikan, jangan mengoyak perasaan orang lain dengan mulutmu, karena kelak engkau akan dikoyak-koyak oleh
anjing-anjing neraka jahanam.”
Sebagaimana firman Allaah yang bermaksud,”Di neraka itu ada anjing-anjing yang mengoyak badan manusia.”
Muadz berkata, “Ya Rasulullah, siapa yang tahan menanggung penderitaan semacam itu?”
Jawab Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasalam, “Muadz, yang kami ceritakan itu akan mudah bagi mereka yang dimudahkan oleh Allaah Subhanahu Wa Ta’ala. Cukuplah untuk menghindari semua itu, kamu menyayangi orang lain sebagaimana kamu mengasihi dirimu sendiri dan benci bila sesuatu yang dibenci olehmu terjadi pada orang lain. Kalau begitu kamu akan selamat dan dirimu
pasti akan terhindar dari api neraka.”
Jika seorang sahabat Rasul seperti Muadz bin Jabal menangis terisak-isak karena takut tidak selamat dari apa yang telah diceritakan oleh Rasul tadi, padahal ia adalah seorang yang pintar dan berdedikasi tinggi, yang ia senantiasa bersama Rasul sampai ia memahami Al-Qur’an dan hal itu membuatnya di kemudian hari menjadi sahabat yang paling ahli membaca Al-Qur’an, orang yang paling baik membaca Al-Qur’an serta orang yang paling memahami syari’at-syari’at Allaah dan Rasulullooh memujinya dengan bersabda “Yang kumaksud umatku yang paling alim tentang halal dan haram ialah Muadz bin Jabal.” (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah),, bahkan Rasul bersabda kepada Mu’adz bahwa beliau sungguh mencintainya pada saat Nabi mengirimnya ke Yaman untuk mengajar, memberikan pengetahuan agama dan mendidik sampai hafal Qur’an,, jika seorang Mu’adz menangis seperti yang diceritakan tadi seharusnya kita yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa haruslah menangis lebih terisak-isak daripada seorang Mu’adz, karena kita tidak memahami dan membaca Qur’an seperti Mu’adz bahkan kita begitu jauh memiliki pengetahuan tentang syari’at-syari’at Allaah dan halal haram dibanding seorang Mu’adz, karena sudah tentu kita lebih banyak dosa daripada Mu’adz, kita lebih banyak melakukan amal-amal yang tidak sempurna malah mungkin jatuh ke dalam riya’ dan sudah selayaknya kita harus harus lebih merasa tidak akan selamat jika kita tidak ikhlas dalam melakukan suatu perbuatan karena bukan keridhaan Tuhan Yang Maha Rohman yang kita dapat tapi malah laknat dari Tuhan dan seluruh makhluk yang bisa melaknat yang akan kita dapat,,
Dalam hadits panjang tadi Rasulullooh berpesan supaya tidak riya’ dalam beramal agar diketahui oleh orang lain, agar kita jangan termasuk kepada orang yang mementingkan dunia dan melupakan akhirat, dan jika melakukan suatu kelalaian dalam beramal maka hendaklah menahan lidah supaya jangan sampai memburukkan orang lain, hendaklah mengingat diri sendiri yang penuh dengan aib, dan jangan mengangkat diri dan menekan orang lain,, tapi pada kenyataan sekarang justru malah berbanding terbalk dengan apa yang dilarang oleh Rasul ‘alaihi shalatu wasalam, dimana orang-orang malah diliput oleh media masa ketika sedang beramal, dimana ketika memberi sesuatu malah minta di do’akan supaya usahanya lancar, dimana jika melakukan kelalaian dalam beramal bukannya sadar akan diri yang penuh dengan aib, malah mencari-cari kesalahan orang lain agar dirinya terlihat lebih baik dan menekan orang lain supaya kejelekannya dapat ditimpakan kepada yang lain,, begitu sulitnya memberi sesuatu tanpa mengharapkan balasan dari orang yang diberikan bantuan, baik itu uang ataupun makanan, karena mungkin sifat ikhlas belum tertanam dalam hati yang terdalam, karena mungkin hati terlalu kelam sehingga tak dapat ditembus oleh cahaya Ilahi yang membawa kebaikan dan kebenaran, karena mungkin hati banyak noda hitam yang disebabkan oleh dosa-dosa yang dianggap biasa yang sering kita lakukan, karena mungkin perhiasan dunia terlalu menyilaukan pandangan yang tak mengenal siapa Tuhan, dan mungkin saja termasuk ke dalam orang-orang yang mendustakan agama yang telah diajarkan sebagaimana disebutkan dalam Qur’an: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna (Al-Maa’uun ayat 1-7),, begitu sering surat Al-Maa’uun ini dibacakan oleh imam ketika shalat, dan tentunya kita juga serng mendengar dan membaca surat ini ketika kita melaksanakan shalat sunat di rumah, namun kenyataannya membaca dan mengatakan lebih mudah daripada mengamalkan dalam bentuk perbuatan, dan hal itu terjadi karena mungkin kita belum benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari pembalasan sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasul sebagai utusan, karena mungkin Islam yang kita kenal hanyalah Islam turunan bukan Islam dari hasil pemahaman,, pemberian yang mengharapkan balasan mungkin disebabkan karena shalat yang dilakukan belum baik karena dalam ayat tadi disebutkan juga orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan dari shalat ini ternyata banyak hikmah kebaikan yang terlupakan dan tidak dipelajari oleh orang-orang, karena Rasul bersabda perihal tentang shalat: Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.” (Riwayat Ath-Thabarani),, subhanAllaah begitu benarnya apa yang disabdakan oleh beliau karena semua amal seseorang bergantung kepada baik atau tidaknya orang tersebut dalam melakukan shalatnya,, hubungan antara sifat memberi dan shalat yakni shalat adalah kebutuhan seorang insan bukan lagi hanya kewajiban, bahkan kebutuhan manusia terhadap shalat lebih dibutuhkan daripada kebutuhan makanan seseorang, karena dalam diri kita ada tiga hak yang harus dilakukan, yakni hak Allaah terhadap kita selaku Sang Pencipta, hak diri kita sendiri dan hak orang lain, dan shalat sendiri merupakan gabungan antara hak Allaah dan hak kita, namun sungguh tak sedikit orang yang melalaikan shalatnya, baik itu dalam ketepatan waktunya maupun kelalaian dalam rukun shalatnya, dan dari sini bisa disimpulkan jika pemberian hak kepada Allaah dan dirinya sendiri begitu dilalaikan sudah pasti memberi kepada orang lain pun akan meminta balasan, padahal Allaah akan membalas perbuatan baik kita tanpa diminta, disebutkan dalam Qur’an: “Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allaah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).” (Al-Anfal ayat 60),, dan bahwasanya harta dan anak hanyalah cobaan seperti tertulis dalam Al-Qur’an: Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allaah-lah pahala yang besar. (Al-Anfaal ayat 28)
Ternyata bila kita renungkan sifat memberi dengan ikhlas hati begitu sulit untuk dimiliki, marilah kita semua berbenah diri dengan beriman kepada Ilahi untuk membersihkan dan menata hati, agar cahaya Ilahi dapat hidup dan menerangi hati sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita berikan semata-mata hanya ingin mendapat keridhaan dari Allaah Yang Maha Suci,, karena Allaah juga memiliki sifat Maha Pemberi dimana begitu banyak yang telah diberikan olehNYA tapi DIA sama sekali tidak meminta balasan terhadap apa yang telah ia berikan, sebagai contoh begitu banyak kita lihat orang-orang yang tidak beriman tapi bergelimpangan harta kekayaan, namun kita selaku orang-orang beriman janganlah terpedaya oleh kehidupan dunia yang sementara karena akhirat tempat pulang kita yang kekal selamanya, Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. (Al-Mu’min ayat 39),, Allaah memerintahkan kita untuk memberi dengan ikhlas hati karena DIA juga Maha Pemberi yang tak pernah meminta balasan dari makhluk yang diberi, namun sepatutnya lah kita malu jika kita tidak bersyukur atas apa yang Allaah beri, karena kita sendiri selaku manusia pasti akan merasa kesal jika orang yang diberi tidak berterima kasih, dengan demikian pantaslah Allaah memiliki sifat Al-Wahhab yang artinya Maha Pemberi sebagaimana sering kita sebutkan dalam Al-Qur’an yang sering kita bacakan sebagai do’a,: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." (Ali-Imran ayat 8)
BILLAAHI FI SABILIL HAQ