BISMILLAAHI ALHAMDULILLAAH AR-RAHMAAN AR-RAHIIM
Sudah kita ketahui semua jika seseorang yang mempunyai sifat pemaaf, adalah orang yang memilki budi pekerti yang luhur, orang yang berakhlak mulia, dan orang yang sudah pasti banyak dicintai oleh orang lain. Namun sungguh sulit sekali kita temukan orang yang bersifat pemaaf ini, karena kita sedang berada dalam masa akhir zaman, masa yang dipenuhi dengan berbagai macam fitnah, berbagai macam bid’ah, dan berbagai macam faham yang salah. Dimana pada zaman sekarang ini orang yang memegang teguh agamanya seperti memegang bara api, jika digenggam maka tangan akan terbakar, namun jika dibiarkan maka bara tersebut akan padam. Sungguh suatu kalimat yang begitu jelas untuk menggambarkan pada saat sekarang ini. Sifat pemaaf adalah sifat seseorang yang rendah hati, yang tidak menganggap dirinya lebih mulia dari orang lain karena sadar semua manusia sama di hadapan Tuhannya, yang tidak sombong terhadap apa yang dimilikinya karena ia sadar semua yang ada padanya adalah karunia dari Tuhannya, dan semuanya akan dipertanggung jawabkan sehingga ia akan mempergunakan semua karuniaNYA untuk kebaikan.
Seorang pemaaf adalah yang mampu berjiwa besar untuk menerima kesalahan yang telah dilakukan orang lain kepadanya meskipun sakit ia rasakan, tapi ia lebih mengetahui lagi jika tidak memaafkan kesalahan maka ia akan lebih sakit lagi merasakan azab yang pedih dari Tuhan yang telah menciptakannya dan memberikannya makanan juga minuman. Ia akan memaklumi orang yang berbuat kesalahan, karena dia memiliki pikiran yang positif sehingga ia mengira orang yang melakukan kesalahan mungkin belum tahu bahwa itu adalah suatu kesalahan. Dan seorang pemaaf adalah seorang yang mempunyai kedewasaan, Pemaaf tidak akan menyimpan dendam dalam hatinya, sekalipun orang yang telah dimaafkannya membuat suatu kesalahan yang begitu menyakitkan, karena ia mengetahui bahwa dendam dalam hati merupakan suatu penyakit yang akan mengotori hati, dan jika dibiarkan maka hati akan menjadi kelam karena sifat dendam. Dan jika itu terjadi maka kecelakaanlah yang akan diterima olehnya, karena orang yang hatinya kelam, pandangan terhadap kebaikan dan kekuasaannya akan menjadi buta sehingga tak akan mampu melihat tanda-tanda kekuasaan Sang Pencipta, begitu pula dengan pendengarannya yang tak akan mampu mendengar seruan-seruan ke jalan kebenaran atau nasihat-nasihat yang membawa kebaikan. Sungguh jika ini terjadi maka kecelakaan terbesar dalam hidup seseorang, karena orang yang buta mata hatinya ia akan berbuat sesuka hawa nafsunya tanpa memikirkan akibatnya dan orang yang pendengaran bathin nya tertutup sudah pasti tak akan mau menerima nasihat ataupun masukan yang diberikan oleh orang, ia menganggap bahwa dirinya yang paling benar, sehingga tak boleh ada yang mengkritiknya dalam hal apapun, dan jika sudah seperti ini maka orang tersebut tak ada bedanya dengan iblis yang terkutuk karena merasa dirinya paling mulia dan menganggap yang lainnya hina. Jika sama dengan iblis maka tempat kembali orang seperti ini juga sama yakni akan dimasukan ke dalam neraka yang menyala-menyala, yang akan membakar manusia hingga setiap sel tubuh juga ikut terbakar, karena dahsyatnya api neraka berlipat ganda daripada api di dunia, sebagai contoh jika kaki kita terbakar sekarang sudah pasti yang terasa panas hanyalah bagian yang terbakar, namun di neraka nanti seorang yang dipakaikan sandal dari api, karena begitu panasnya api neraka tak hanya kaki yang panas, ubun-ubun yang ada di kepala pun ikut mendidih, padahal siksaan seperti ini adalah siksaan yang paling ringan di akhirat kelak. Jika siksaan yang paling ringan saja seperti itu dahsyatnya, tak kan terbayangkan bagaimana siksaan untuk para pendosa berat yang menjadikan iblis sebagai teman dekat, yang mengatakan syetan adalah musuh besarnya tapi prilakunya selalu menuruti apa yang dibisikan, untuk melakukan kesalahan dan berbuat kerusakan, menyuruh melakukan kebaikan tapi dia tidak melakukan, melarang berbuat kejahatan tapi ia malah ikut melakukan.
Allaah mencintai orang-orang yang suka memaafkan, karena orang yang memaafkan adalah orang yang hatinya dipenuhi kasih sayang kepada sesamanya, ini sesuai dengan hadits yang disampaikan oleh Rasul ‘alaihi shalatu wasalam, beliau bersabda: “Kasihilah orang yang ada dimuka bumi, niscaya Dzat yang ada di langit akan mengasihimu.” (Riwayat Ath-Thabrani dan Al-Hakim). Namun memang kata yang sebenarnya terdiri dari empat huruf ini begitu mudah diucapkan tapi susah untuk dilakukan, seperti mudahnya mengatakan saya minta maaf, tapi sulit untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan karena mungkin sudah menjadi kebiasaan. Sebagai contoh seseorang yang suka mengendarai sepeda motor tapi dia tidak suka memakai helm, suatu waktu orang tersebut dilabrak oleh polisi karena tidak memakai helm, ia berdalih “maaf pak saya cuma mau ke depan sebentar, rumah saya kan deket pak, jadi ribet kalo pake helm”, mungkin satu kali atau dua kali polisi tadi memaafkan dan memaklumi, nah kalo keseringan polisi itu pasti juga akan menilang orang tersebut sebagai hukumannya. Mungkin minta maaf seperti itu adalah hal yang mudah diucapkan, tapi minta maaf karena melakukan suatu kesalahan yang menyakiti hati orang lain itu susah untuk diucapkan, karena banyak faktor dan pertimbangan bagi seorang manusia untuk mengucapkan kata maaf ini, mungkin karena gengsi karena merasa atasan, mungkin karena malu mengakui kesalahan, atau mungkin karena merasa tidak melakukan kesalahan. Itu terjadi dikarenakan jiwa manusia masih dikuasai oleh hawa nafsunya,,,
Ibnu Qoyyim berkata tentang nafsu: “Nafsu adalah sebuah gunung yang besar dan jalannya sulit namun menyampaikan kepada Allaah. Setiap orang yang berjalan tidak mempunyai jalur alternatif selain harus melalui gunung tersebut.
Hanya saja, diantara mereka ada yang kesulitan melaluinya dan ada pula yang mudah namun sesungguhnya ia sungguh mudah bagi siapa saja yang dimudahkan oleh Allah. Di gunung tersebut terdapat banyak jurang, jalan berliku, rintangan, lubang, duri, pohon, jebakan, bebatuan, dan perampok yang menghadang perjalanan orang-orang terutama orang yang melakukan perjalanan malam hari. Maka kalau mereka tidak mempunyai persediaan iman dan lentera keyakinan yang dinyalakan oleh minyak khusyu’, niscaya mereka akan terhalangi dan terpotong oleh semua penghalang itu hinga mereka tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Lalu kebanyakan orang yang berjalan pulang kembali tatkala tidak sanggup melewati semua rintangannya. Sedangkan syaithan di puncak gunung tersebut menakut-nakuti manusia agar jangan mendakinya. Di saat bersatu sulitnya pendakian, adanya syaithan yang menakut-nakuti di puncak, dan lemahnya tekad penempuh, maka terputuslah perjalanan dan diapun pulang. Sedangkan orang yang terjaga ialah siapa yang dijaga oleh Allaah. Semakin pendaki itu naik mendaki ke atas gunung tersebut, maka akan semakin keras terdengar teriakan penghalang dan menakut-nakutinya. Apabila dia telah melewatinya dan mencapai puncaknya maka berubahlah semua ketakutan itu menjadi keamanan. Tatakala itu mudahlah perjalanan, hilangnya segala rintangan, dan dia bias melihat jalan luas lagi aman menuju perumahan dan tempat minum. Jadi, jarak antara seorang hamba dengan kemenangan dan kebahagiaanya hanyalah kekuatan tekad, kesabaran sesaat, keberanian jiwa, dan keteguhan hati”. SubhanAllaah, betapa indahnya seorang hamba Allaah yang bernama Ibnu Qoyyim mengkiaskan tentang hawa nafsu, jika kita cermati, beliau memberikan nasihat supaya bisa melalui perjalanan untuk sampai ke tujuan atau dengan kata lain untuk menaklukan hawa nafsu, beliau menyebutkan iman, keyakinan (tekad) dan khusyu yang harus kita miliki agar kita tiba di puncak gunung, yang merupakan keberhasilan kita mengendalikan nafsu. Dan jika sudah berhasil menghimpun ketiga bekal tadi insya Allaah seseorang akan mampu mengendalikan nafsunya dan ia pun akan mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada orang yang telah disakiti hatinya, ia melakukan hal tersebut karena mengetahui resiko apa balasan yang akan diterimanya jika tidak meminta maaf, dimana di hari nanti tidak akan ada balasan berupa harta benda, yang ada hanyalah amal dan dosa, sebagaimana disebutkan dalam hadits "Dari Abu Hurairoh rodhiyAllaahu 'anhu bahwa Rasulullooh shollAllaahu 'alaihi wasallam bertanya : Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut ( pailit ) itu ? Maka mereka ( para sahabat ) menjawab : orang yang pailit di antara kita adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta. Maka Rasulullah shollAllaahu 'alaihi wasallam menerangkan : orang yang pailit dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakatnya, namun dia datang dan (dahulu di dunianya) dia telah mencela si ini, menuduh (berzina) si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu dan telah memukul orang lain ( dengan tidak hak ), maka si ini diberikan kepadanya kebaikan orang yang membawa banyak pahala ini, dan si itu diberikan sedemikian juga, maka apabila kebaikannya sudah habis sebelum dia melunasi segala dosanya ( kepada orang lain ), maka kesalahan orang yang didzalimi di dunia itu dibebankan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke api neraka. (Riwayat Muslim).
Orang yang suka meminta maaf sadar betul bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara, dan ia yakin bahwa minta maaf bukanlah sesuatu hal yang hina, karena ia tidak mau meninggal dalam keadaan masih ada orang yang tersakiti oleh ucapan dan perbuatannya yang telah dilakukan, maka dari itu sudah menjadi suatu adat kebiasaan jika ada orang mati, keluarga almarhum selalu mengatakan tolong dimaafkan segala kesalahan yang telah diucapkan ataupun dilakukan. Hal ini sangat berbahaya jika dibiarkan karena jika seseorang sudah tidak merasa bersalah kepada sesamanya, tidak mau meminta maaf kepada sesamanya, tidak mengakui kesalahannya, lambat laun mungkin ia akan tidak merasa bersalah kepada Tuhannya, tidak mau meminta ampun kepadaNYA, tidak mau mengakui kesalahan di hadapan Tuhannya, hal ini dikatakan karena jika sesama manusia saja yang terlihat wujudnya tidak mau meminta maaf apalagi jika sama Allaah, karena DIA Maha Ghoib, tidak dapat dilihat kecuali di surga nanti, naudzubillaah, semoga kita semua terlindung dan diberikan kekuatan untuk menghindari hal demikian supaya kita tidak termasuk orang yang rugi di alam keabadian. Padahal Allaah telah memerintahkan manusia jika melakukan kesalahan maka segeralah bertaubat, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an, Allaah berfirman: Dan bersegeralah kamu memohon ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (Ali Imran : 133), bicara mengenai taubat ada beberapa hal yang harus dilakukan supaya taubat kita diterima oleh Allaah Ta’ala, jika kesalahan yang dilakukan antara dirinya dengan Allaah syaratnya adalah:
1. Menyesal sungguh di atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Yakni terasa kesal, sedih, dukacita, rasa tidak patut kerana melanggar syariat Allaah. Sekaligus datang perasaan menyerah diri kepada-Nya. 2. Bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perkara-perkara yang menjadi larangan Allaah itu. 3. Meninggalkan perkara-perkara yang mendatangkan dosadosa dengan Allaah sama ada dosa besar atau dosa kecil.
Antara contoh-contoh dosa besar ialah meninggalkan sembahyang, tidak puasa, tenung nasib, minum arak, zina, rasuah, riba, memfitnah, mengumpat, membunuh dan lain-lain lagi. Di antara dosa-dosa kecil ialah memperlihatkan aurat, bergaul bebas antara lelaki dan perempuan, mendengar nyanyian yang menaikkan nafsu syahwat, berbicara perkara yang kurang bermanfaat, bergurau berlebih-lebihan, dan lain-lain lagi. Oleh karena itu, selama kita menjauhi perbuatan yang haram (seperti riba, memperlihatkan aurat, minum arak) maka kita tidak akan berbuat lagi dan akan meninggalkan perbuatan tersebut. Sama juga jika kita berusaha untuk tidak melakukan dosa-dosa yang meninggalkan perkara-perkara wajib (seperti meninggalkan sembahyang dan tinggal puasa), maka kita tidak akan meninggalkannya lagi. Atinya kita harus terus melaksanakan perkara-perkara yang wajib dengan bersungguh-sungguh dan membayar (qadha) segala perintah wajib yang tertinggal.
Selain taubat dosa kepada Allaah ada juga taubat dosa kepada manusia, dengan syarat: 1) Menyesal sungguh-sungguh di atas segala kesalahan yang dibuat terhadap orang lain itu. Benar-benar terasa di hati perasaan sedih, dukacita dan rasa tidak patut berbuat begitu. 2) Meninggalkan terus perkara-perkara yang mendatangkan dosa dengan manusia 3) Bersungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perkara-perkara yang mendatangkan dosa yang ada hubungan dengan manusia itu. 4) Meminta maaf atau meminta redha (halal) kepada orang yang kita telah berbuat dosa terhadapnya atau bayar semula ganti rugi atau pulangkan barang yang telah diambil. Dosa-dosa sesama manusia ini banyak sekali macamnya, seperti ghibah, fitnah, menuduh yang tidak dilakukan, membuat malu, mencaci maki, berhutang, berpacaran dengan anak orang, apalagi sampai berzina, sungguh itu hanya beberapa dosa yang sering kita lihat mungkin kita lakukan juga, lalu sebesar apakah kita sudah bertaubat terhadap sesama, Allaah memang Maha Pengampun, pasti akan memaafkan kesalahan manusia sebesar apapun asalkan sebelum maut menjemput dan bukan dosa syirik, Di sini kita dapat lihat bahawa bertaubat terhadap dosa dengan sesama manusia lebih berat daripada dosa dengan Allaah. Ia mesti menempuh empat syarat tetapi dosa dengan Allaah hanya tempuh tiga syarat. Ini menandakan bahwa maaf dari manusia lebih sulit daripada ampunan Allaah Ta’ala, karena manusia perlu proses untuk memaafkan lebih lama prosesnya daripada pengampunan Allaah, karena manusia yang sabarnya terkadang dibatasi oleh hawa nafsunya sehingga sulit untuk memaafkan, sedangkan Allaah adalah Maha Penyabar sehingga tak kan sulit untuk memberi ampunan, karena itulah Allaah mempunyai sifat Maha Pengampun sedangkan manusia hanya pemaaf, yang butuh waktu untuk memaafkan, sebagaimana dikatakan oleh seorang ‘alim Kata maaf berasal dari bahasa Al-Quran alafwu yang berarti "menghapus" karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Bukanlah memaafkan namanya, apabila masih ada tersisa bekas luka itu didalam hati, bila masih ada dendam yang membara. Boleh jadi, ketika itu apa yang dilakukan masih dalam tahaf "masih menahan amarah". Usahakanlah untuk menghilangkan noda-noda itu, sebab dengan begitu kita baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain. Hal ini justru sangat berbeda dengan sifat Allaah Yang Maha Pengampun, yang tidak memerlukan proses untuk menghapuskan kesalahan-kesalahan hambaNYA.
Begitu sulitnya mengucapkan kata maaf, sebagaimana dibicarakan tadi, hal ini juga sama dengan memberikan maaf, hanya orang-orang yang tawadhu, orang-orang yang tidak mendendam, dan orang-orang yang berilmu yang memaafkan kesalahan orang lain dengan ikhlas dan menghapus kenangan buruk orang lain yang telah melakukan kesalahan kepadanya. Seorang pemaaf akan disukai dan dicintai oleh Allaah dan dibalas dengan ampunan dan pahala dariNYA. Renungkanlah perintah Allaah tentang memberikan maaf dalam hadits dan Qur’an berikut ini Allaah berfirman: “Dan orang yang menahan amarahnya dan memaafkan orang lain, Allah menyintai orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 132). Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa mema'afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. Tetapi orang yang bersabar dan mema'afkan, sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (Asy Syuro’: 40&43) Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (Al Baqarah : 263), (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (Ali Imran : 134). “Harta tidak akan berkurang karena sedekah, Allah tidak menambah kepada seseorang yang memaafkan kecuali dengan kemuliaan, dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ melainkan pasti Allah pasti mengangkat derajatnya.” (Riwayat Muslim)
wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu.” (HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baghawy).
Semoga dengan merenungkan ayat-ayat tadi kita semua mendapatkan penerangan tentang sifat pemaaf yang harus ada pada diri orang yang bertaqwa dan jika kita melakukan kesalahan jangan malu untuk meminta maaf, apalagi kepada Allaah, tak sepantasnya kita malu mengakui kesalahan di hadapan Allaah, karena Iblis saja mau mengakui kesalahan telah melanggar perintah, kenapa manusia tidak mau mengakui kesalahan baik itu kepada sesamanya maupun kepada TuhanNYA, dan tidak semata-mata Allaah menyuruh manusia untuk bersifat pemaaf jika DIA tidak Maha Pengampun, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an: . . . Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Baqarah: 235)
BILLAAHI FI SABILIL HAQ